GEMADIKA.comJayabhaya merupakan Raja Panjalu yang memerintah sekitar tahun 1135-1159 M. Dengan bergelar abhisekanama yang digunakan ialah Sri Maharaja Sang Mapanji Jayabhaya Sri Warmeswara Madhusudana Awataranindita Suhtrisingha Parakrama Uttunggadewa. Pemerintahan prabu Jayabhaya dianggap sebagai masa kejayaan Kerajaan Panjalu. Peninggalan sejarahnya berupa prasasti Hantang (1135 M), prasasti Talan (1136 M), prasasti Jepun (1144 M) serta kakawin Bharatayuddha (1157 M).

Masa Pemerintahan Raja Jayabhaya

Dilansir pada lama Wikipedia, pada prasasti Hantang atau juga disebut prasasti Ngantang yang diterbitkan tahun 1135, terdapat kalimat semboyan Panjalu Jayati yang artinya adalah Kadiri Menang. Prasasti ini dikeluarkan sebagai piagam pengesahan anugerah untuk penduduk desa Ngantang yang tetap setia pada Kadiri selama masa perang melawan Janggala. Dari prasasti tersebut dapat diketahui bahwa Jayabhaya adalah raja yang berhasil mengalahkan Janggala dan mempersatukannya kembali dengan Kadiri. Kemenangan Jayabhaya atas Janggala disimbolkan sebagai kemenangan Pandawa atas Korawa dalam kakawin Bharatayuddha.

Dalam prasasti Talan tahun 1136, raja Jayabhaya menganugerahkan desa Talan sebagai sima karena telah menyimpan prasasti ripta (lontar) dari masa leluhurnya wangsa Isyana yaitu Airlangga lontar tersebut disalin ke prasasti batu dan diberi tambahan anugerah lain karena warga Talan telah berbakti kepada Paduka Mpungku yang memiliki cap kerajaan Lancana Garuda Mukha. Paduka Mpungku ialah gelar Prabu Airlangga setelah turun tahta menjadi pertapa atau resi. Prabu Jayabhaya sendiri merupakan keturunan dari Raja Airlangga.

Baca juga :  Polemik Kepemilikan Tanah PT KAI, Menteri Nusron Bakal Temui Sultan Yogyakarta

Jayabaya Turun Tahta di Usia Tua

Jayabaya turun takhta pada usia tua. Ia dikisahkan moksha di desa Menang, Kecamatan Pagu, Kabupaten Kediri. Tempat petilasannya tersebut dikeramatkan oleh penduduk setempat dan masih ramai dikunjungi sampai sekarang.

Raja Jayabaya Identik dengan Ramalan Joyoboyo

Prabu Jayabaya adalah tokoh yang identik dengan ramalan masa depan Nusantara. Terdapat beberapa naskah yang berisi “Ramalan Joyoboyo”, antara lain Serat Pranitiwakya, dan lain sebagainya. Dikisahkan dalam Jayabaya mendapat gambaran tentang keadaan Pulau Jawa sejak zaman diisi oleh Aji Saka sampai datangnya hari Kiamat.Tidak diketahui dengan pasti siapa penulis ramalan-ramalan Jayabaya. Sudah menjadi kebiasaan masyarakat saat itu untuk mematuhi ucapan tokoh besar. Maka, si penulis naskah pun mengatakan kalau ramalannya adalah ucapan langsung Prabu Jayabaya, seorang raja besar dari Kadiri.

Ramalan Jayabaya, adalah ramalan tentang keadaan Nusantara di suatu masa pada masa datang. Dalam Ramalan Jayabaya itu dikatakan, akan datang satu masa penuh bencana. Gunung-gunung akan meletus, bumi berguncang-guncang, laut dan sungai, akan meluap. Ini akan menjadi masa penuh penderitaan. Masa kesewenang-wenangan dan ketidakpedulian. Masa orang-orang licik berkuasa, dan orang-orang baik akan tertindas.

Tapi, setelah masa yang paling berat itu, akan datang zaman baru, zaman yang penuh kemegahan dan kemuliaan. Zaman Keemasan Nusantara. Dan zaman baru itu akan datang setelah datangnya sang Ratu Adil, atau Satria Piningit.

Baca juga :  Rahasia Berdamai dengan Diri Sendiri

Satria piningit, adalah orang-orang yang peduli pada bangsanya, berilmu tinggi, dan telah memutuskan untuk berbuat sesuatu. Mereka lah, dan hanya merekalah yang bisa melawan kehancuran, dan akhirnya membangkitkan peradaban.

Di zaman kegelapan, selalu ada saja orang yang belajar. Di antarab anyak orang lupa, selalu ada saja orang baik. Bahkan walau cuma satu orang. Kadang, kerusakan itu justru membakar jiwanya untuk berbuat sesuatu. Belajar, berjuang, berkorban. Seperti Soekarno yang melihat bangsanya hancur, atau yang melihat bangsanya diinjak-injak. Mereka lalu berjuang menyelamatkan bangsanya. Ratu Adil yang mendatangkan zaman kebaikan.

Ramalan Jayabaya mungkin bisa dipahami secara ilmiah, bahwa manusia dan peradaban memang selalu bisa bangkit, hancur, dan bangkit lagi. Dan mungkin karena Jayabaya menyadari manusia bisa lupa, dia sengaja menulis ini sebagai peringatan agar manusia tidak lupa. Dan itulah satu tanda kearifan sang Prabu Jayabaya. Mungkin, ini juga dorongan pada manusia agar selalu berbesar hati, optimis. Bahwa di saat yang paling berat sekalipun, suatu hari akhirnya akan datang juga Masa Kesadaran, Masa Kebangkitan Besar, Masa Keemasan Nusantara. (Reza Ori)