GROBOGAN, GEMADIKA.com – Pada umumnya tambak garam membentang di pesisir pantai dan mengunakan air laut sebagai bahan baku. Namun di Desa Jono, Kecamatan Tawangharjo, Kabupaten Grobogan, garam terbuat dari air sumur di tengah ladang dan lokasinya jauh dari laut.
Meski bukan berasal dari air laut, rasa garam “Jono” tidak kalah asin dengan garam air laut. Padahal, sumur dan areal pengolahan garam seluas kurang lebih tiga hektare tersebut lokasinya berjarak seratusan kilometer dari pantai. Fenomena langka yang tak bisa dijumpai di daerah lain tersebut, menjadikan garam produksi Desa Jono memiliki rasa yang khas.
Garam “Jono” menjadi mata pencaharian Warga Desa Jono dan sekitarnya
Dihimpun dari berbagai sumber, petani garam Jono menimba air dari sumur-sumur tua berair asin yang tersebar di areal ladang garam. Air tersebut kemudian dialirkan ke belahan bambu sepanjang sekitar tiga meter sebagai sarana pengeringan hingga menjadi garam kristal.
Sementara itu, salah seorang petani garam, Sumarti (60), mengaku senang dengan harga garam konsumsi yang melonjak termasuk harga garam Jono. Sejak beberapa bulan terakhir, perempuan yang telah 40 tahun menjadi petani garam Jono ini, menjual garam Rp 10.000 per kilogram. Padahal sebelumnya hanya dihargai Rp 5.000 per kilogram.
Produktivitas Garam “Jono” masih menggunakan Cahaya Matahari
Untuk mendongkrak produktivitas dan pemasaran garam Jono, berbagai upaya yang harus dilakukan antara lain meningkatkan teknologi dalam proses pengolahan serta mengubah kemasan garam agar lebih menarik dan menjual. Tidak lagi dijual dalam kemasan satu kilo seperti yang selama ini dilakukan para produsen garam Jono.
Hingga menjadi butiran garam yang siap dipasarkan, imbuhnya, selama proses pembuatan para petani memang hanya mengandalkan sinar matahari. Sebab, meskipun dalam proses pengolahan pernah memanfaatkan energi listrik dan hasilnya relatif bagus, namun keuntungan penjualan tidak mampu menutup biaya operasional. (Reza Ori)