MALANG, GEMADIKA.com – Seorang kakek berusia 61 tahun, Piyono, dijatuhi hukuman 5 bulan penjara oleh Hakim Ketua I Wayan Eka dalam persidangan di Pengadilan Negeri Malang, Rabu (11/9/2024).
Piyono terbukti bersalah karena memelihara 8 ekor ikan aligator gar (Arapaima gigas), spesies predator ilegal yang dilarang oleh Undang-Undang Perikanan terbaru.
Persidangan di Ruang Sidang Garuda berlangsung penuh emosi, dengan keluarga Piyono tampak tak mampu menahan isak tangis ketika vonis dijatuhkan. Kakek Piyono terlihat tegar saat mendengar putusan tersebut, meskipun emosinya pecah saat memeluk anggota keluarga.
Menurut hakim, Piyono didakwa melanggar Pasal 88 jo Pasal 16 ayat 1 Nomor 31 Tahun 2024 tentang tindak pidana perikanan. Ia dikenakan hukuman 5 bulan penjara subsider 1 bulan atau denda Rp5 juta. Vonis ini lebih ringan dibandingkan tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang meminta 8 bulan penjara subsider 2 bulan dan denda Rp10 juta.
“Tidak ada yang saya rugikan, justru saya rugi. Saya pelihara ikan ini sejak 2008, bayangkan sampai sekarang ikannya utuh. Ikannya hanya tambah besar tidak jadi banyak. Saya tidak bisa apa-apa (soal vonis). Saya terima apa adanya karena saya orang kecil. Saya ibaratnya ikan kecil sudah di mulut aligator,” ujar Kakek Piyono, Rabu (11/9/2024).
Anak Piyono, Aji Nuryanto, mengungkapkan bahwa mereka tidak pernah menerima sosialisasi tentang larangan memelihara ikan aligator gar.
“Memeliharanya sejak tahun 2006, jadi dipelihara kurang lebih 16 tahun, sedangkan aturan atau undang-undangnya itu baru ada sejak tahun 2020, ikan ini juga dijual di pasaran bebas,” kata Aji.
Aji menambahkan, ikan yang dirawat selama 18 tahun tersebut dibeli ketika masih kecil dengan harga Rp10.000 per ekor dan saat ini ukurannya sudah mencapai 1 meter.
Pada Februari 2024, petugas dari Polda Jatim dan BPSPL Denpasar melakukan penyitaan terhadap lima ikan aligator gar yang tersisa dan Piyono ditahan pada 6 Agustus lalu.
Aji mengatakan kesehatan ayahnya menurun karena selama dua tahun terakhir, Priyono menderita diabetes dan melakukan pengobatan rutin menggunakan suntik insulin.
“Selama ditahan diganti mengonsumsi obat menggunakan pil, kondisi kesehatannya menurun,” kata dia.
Piyono juga masih memiliki tanggungjawab menguliahkan satu dari ketiga anaknya.
“Ada satu yang masih kuliah di Surabaya, cucunya tiga,” kata dia.
Hal senada juga sampaikan penasihat hukum Piyono, Guntur Putra Abdi Wijaya. Ia mengatakan Piyono sebelumnya tidak pernah menerima sosialisasi terkait aturan larangan pemeliharaan ikan aligator dari Pemerintah.
Selain itu Piyono juga tidak pernah terlibat persoalan hukum sebelumnya.
“Upaya hukum yang kami lakukan, berharap terdakwa ini dibebaskan atau menjadi tahanan percobaan, atau tahanan kota sehingga seperti wajib lapor saja,” kata dia.
Ia mengatakan putusan Majelis Hakim telah memberatkan terdakwa dan perasaan keluarga.
Dia mengaku sudah berupaya mengajukan upaya hukum agar ada putusan bebas.
“Atau seringan-ringannya, di mana terdakwa berada di rumah, dengan wajib lapor, tetapi hakim berpendapat lain, dengan hal ini memberatkan keluarga,” kata dia.
Guntur mengatakan, untuk selanjutnya pihaknya belum bisa menyampaikan langkah apa yang akan dilakukan.
“Kami berkoordinasi dahulu dengan pihak keluarga, langkah apa yang kami tempuh, supaya sidang terdakwa cepat selesai,” kata dia.
Dia mengatakan, Piyono merasa tidak bersalah karena memelihara ikan sejak sebelum muncul aturan pidana yang mengatur soal hewan tersebut.
“Jadi terdakwa memelihara tidak merugikan lingkungan, yang selanjutnya masih banyak juga pedagang yang berjualan ikan ini, ketiga tidak ada sosialisasi yang diterima oleh terdakwa dari pihak-pihak terkait tentang larangan ini,” kata dia.
Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Kota Malang, Su’udi mengatakan, putusan Majelis Hakim yang ada dinilai telah memenuhi rasa keadilan dan dinilainya ringan.
Menanggapi rasa keberatan dari terdakwa, Su’udi mengatakan, suatu aturan hukum yang sudah ada dan ditetapkan maka masyarakat sudah dianggap tahu, sehingga perbuatan Piyono melanggar hukum.
Disinggung soal opsi restorative justice yang tidak dilakukan terhadap terdakwa, dia menyampaikan, bahwa perkara ini adalah limpahan dari Polda Jatim.
“Kemudian tidak ada korbannya, tidak ada perdamaian. Ini kan deliknya formil, orang yang memelihara ikan yang dilarang, jadi tidak dipersyaratkan korban, jadi perbuatannya yang dilarang,” kata dia.
Putusan Majelis Hakim ini lebih ringan dari sidang agenda tuntutan yang disampaikan JPU Kejari Kota Malang beberapa waktu lalu, yakni delapan bulan penjara dan subsider dua bulan penjara atau denda Rp 10 juta.
Pihaknya juga merasa telah mempertimbangkan hal-hal yang meringankan terhadap terdakwa.
“Sudah ditulis dalam tuntutan kami, seperti beliau berusia tua, memiliki sakit, sudah disampaikan di persidangan, dan ini putusan akhirnya,” kata dia lagi.
Vonis yang ada terhitung dengan masa tahanan yang sudah dijalankan sejak awal Agustus 2024 ini.
“Tinggal empat bulan, atau tiga bulanlah, sebentar lagi sebenarnya,” kata dia.
(Tim)
Tinggalkan Balasan Batalkan balasan