JAKARTA, GEMADIKA.com – Gedung Dewan Pers lantai 4 dipenuhi ketegangan saat mantan Ketua Umum PWI Pusat, Atal S. Depari, mengalami momen tak terduga. Kedatangannya ke kantor PWI Pusat—yang pernah ia pimpin dengan dedikasi selama lima tahun—ditolak. Atal, yang sebelumnya hadir untuk menghadiri acara Serikat Media Siber Indonesia (SMSI), berniat sekadar bernostalgia dan melihat kantor lamanya, namun realitas yang ditemuinya sangat berbeda dari harapan, kamis (26/9/2024).
“Saya hanya ingin melihat suasana kantor dan sekretariat PWI, tapi dilarang masuk oleh Dadang Rahmat,” ujar Atal dengan nada kecewa, menyimpan berbagai emosi. Keinginannya untuk mengunjungi kantor yang dulu menjadi pusat aktivitasnya berubah menjadi momen penuh kejutan. Pintu utama kantor, yang biasanya ramai dengan kegiatan, kini terkunci rapat.
Tidak ingin berhenti begitu saja, Atal mencoba mengunjungi ruang sekretariat. Namun, ruang tersebut juga terkunci, menegaskan adanya jarak yang kini memisahkannya dari tempat yang pernah menjadi bagian dari kepemimpinannya. “Pintu utama terkunci, saya coba ke ruang sekretariat, dan ternyata sudah terkunci juga,” tambahnya.
Di tengah suasana ini, muncul sedikit angin segar ketika seorang anggota sekretariat yang berada di dalam kantor berinisiatif membuka pintu. Meski pintu utama tetap tertutup, Atal masih diberi akses terbatas ke bagian kecil dari ruangan yang penuh kenangan tersebut.
Ketegangan semakin memuncak saat Dadang Rahmat mengungkapkan bahwa perintah untuk menutup pintu datang langsung dari Sekretaris Jenderal PWI Pusat, Iqbal Irsad. Peristiwa ini mencerminkan perubahan besar di PWI Pusat, di mana Atal, yang pernah memiliki kendali penuh, kini terhalang dari akses ke ruang yang dulu menjadi saksi kepemimpinannya.
Di sisi lain, penggantinya, Hendry Ch. Bangun, telah diberhentikan secara penuh dari keanggotaan PWI oleh Dewan Kehormatan PWI Pusat karena pelanggaran terhadap PD-PRT organisasi wartawan tertua di Indonesia. Ketegangan internal ini menambah berat beban emosional bagi Atal, yang seharusnya bisa menikmati kunjungannya dengan lebih tenang.
Penolakan yang dialami Atal menggambarkan betapa dalam ketegangan yang kini melanda PWI Pusat. Apa yang seharusnya menjadi momen sederhana berubah menjadi simbol nyata dari konflik yang masih membayangi organisasi besar ini. (Selamet)