JAKARTA, GEMADIKA.com – Banjir data di ruang publik menunjukkan tanda-tanda melemahnya kinerja ekonomi nasional. Ini bukan sekadar angka; ini adalah aspirasi rakyat Indonesia dan juga peringatan bagi pemerintah untuk lebih fokus pada pemulihan ekonomi. Meskipun ada faktor eksternal dan internal yang memberikan tekanan pada ekonomi kita, upaya pemulihan masih bisa dilakukan, terutama dengan menekan impor dan menjaga daya beli masyarakat.
Kita semua sudah melihat banyak data tentang pemutusan hubungan kerja (PHK), kinerja sektor manufaktur yang melemah, serta harga minyak mentah global yang terus meningkat. Semua fakta ini perlu menjadi perhatian, terutama menjelang peralihan administrasi pemerintahan. Dalam waktu dekat, Kabinet Indonesia Maju yang dipimpin Presiden Joko Widodo akan demisioner, dan Prabowo Subianto sebagai presiden terpilih akan dilantik. Dia dan kabinet barunya akan menghadapi tantangan besar dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Penting untuk melihat data tentang melemahnya ekonomi sebagai pesan dari masyarakat agar pemerintahan baru fokus pada pemulihan. Meskipun ini bukan tugas yang mudah, langkah pemulihan bisa dilakukan secara bertahap dengan memanfaatkan potensi dalam negeri.
Banjir berita mengenai harga minyak yang naik di pasar global berpotensi memberikan tekanan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025. Dalam pekan kedua Oktober 2024, harga minyak mentah dunia mengalami lonjakan. Kenaikan ini akan berdampak pada subsidi bahan bakar minyak (BBM) yang diberikan kepada masyarakat.
Menurut Drajad Wibowo, anggota Dewan Pakar TKN Prabowo Subianto, untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi 8 persen, dibutuhkan tambahan belanja negara sebesar Rp 300 triliun di APBN 2025. Tantangan ini perlu ditangani dengan serius oleh pemerintah baru agar bisa menciptakan kebijakan yang efektif.
Kinerja sektor manufaktur kita juga memerlukan perhatian. Data Purchasing Manager’s Index (PMI) menunjukkan bahwa sektor ini terus melemah. Per Juli 2024, PMI hanya berada di angka 49,3, menurun dari 50,7 di bulan sebelumnya. Ini menggambarkan bahwa permintaan dalam negeri sedang menurun, yang berimbas pada produktivitas industri.
Akibatnya, banyak perusahaan, baik besar maupun UMKM, terpaksa melakukan PHK untuk menekan biaya operasional. Data resmi menunjukkan bahwa sepanjang Januari hingga Oktober 2024, lebih dari 52.993 pekerja terkena PHK. Jika tidak ada langkah yang segera, jumlah ini bisa terus meningkat.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah pengangguran terus bertambah. Termasuk di dalamnya adalah sekitar 10 juta Gen-Z yang tidak melanjutkan pendidikan dan tidak bekerja. Ini semua menggambarkan fluktuasi daya beli masyarakat. Tak heran jika BPS mengumumkan deflasi 0,12 persen pada September 2024, deflasi kelima berturut-turut.
Melemahnya daya beli ini juga berdampak pada menurunnya kelas menengah di Indonesia. Dari 57,33 juta orang pada 2019, kelas menengah kini menyusut menjadi 47,85 juta orang pada 2024. Tanpa langkah yang tepat, jumlah warga miskin bisa meningkat.
Pemerintah baru perlu memikirkan strategi pemulihan yang solid. Salah satu langkah yang harus diprioritaskan adalah mengendalikan impor produk-produk manufaktur. Saat ini, banyak produk impor yang menjadikan pasar dalam negeri terbanjir, mengakibatkan perusahaan lokal kesulitan dan terpaksa melakukan PHK.
Kebijakan lain yang juga harus diperhatikan adalah bagaimana cara menjaga daya beli masyarakat. Menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen harus dipikirkan kembali karena dapat memperburuk daya beli rakyat.
Tantangan yang dihadapi oleh pemerintah baru sangat besar, namun bukan tidak mungkin untuk diatasi. Dengan memanfaatkan potensi dalam negeri dan memperhatikan aspirasi rakyat, kita bisa berharap untuk melihat pemulihan ekonomi yang nyata. Semoga langkah-langkah yang diambil oleh pemerintah mendatang dapat membawa perubahan positif bagi masyarakat Indonesia. (Mnztd)
Tinggalkan Balasan Batalkan balasan