BINJAI, GEMADIKA.com – Pilkada 2024 di Kota Binjai menyisakan noda besar bagi penyelenggaraan demokrasi. Dari total 219.808 pemilih terdaftar, hanya 126.699 orang (sekitar 57%) yang menggunakan hak pilihnya, menandakan penurunan tajam dalam angka partisipasi. Kejatuhan angka partisipasi ini memperlihatkan kegagalan besar Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Binjai dalam menjalankan tugasnya. Di tengah bencana banjir yang melanda hampir seluruh wilayah, KPU tetap nekat membuka Tempat Pemungutan Suara (TPS) tanpa memperhitungkan keselamatan dan kenyamanan pemilih. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar: Apakah KPU benar-benar peduli pada rakyat, atau hanya mengejar ambisi egois?
Anggaran Miliaran, Hasil yang Mengecewakan Hak Konstitusi
Dengan anggaran yang mencapai Rp17,7 miliar, seharusnya KPU Kota Binjai mampu mengatasi segala kendala dan memastikan partisipasi pemilih yang optimal, bahkan di tengah bencana. Namun kenyataannya, KPU memilih bertindak gegabah, mengabaikan kenyataan di lapangan. Pembukaan TPS di lokasi yang terisolasi oleh banjir bukan hanya ceroboh, tetapi juga menunjukkan ketidakmampuan dalam merespons situasi darurat.
Advokat Johendri Perangin-angin, dengan tegas mengkritik keputusan KPU. “Ini bukan hanya soal angka partisipasi yang rendah. Ini adalah kegagalan besar dalam menjalankan amanat konstitusi. KPU menunjukkan keputusan yang tidak hanya gegabah, tetapi juga mengabaikan kenyataan sosial dan geografis di lapangan. Keputusan mereka jelas mencoreng kredibilitas dan integritas mereka sebagai lembaga penyelenggara pemilu,” ujar Johendri, Sabtu (7/12/2024).
Johendri juga menegaskan bahwa tindakan KPU melanggar ketentuan hukum yang berlaku. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah, KPU wajib menjamin penyelenggaraan pemilu yang aman, lancar, dan inklusif. Pembukaan TPS di daerah terisolasi jelas menunjukkan pengabaian terhadap tanggung jawab tersebut.
“PSS yang dilaksanakan di 20 TPS di Kecamatan Binjai Kota hanya menyelesaikan sebagian masalah, sementara bencana banjir tidak hanya melanda Binjai Kota. KPU gagal memahami besarnya dampak bencana dan mengabaikan prinsip aksesibilitas,” tambahnya.
Lebih lanjut, Peraturan KPU No. 17 Tahun 2024 tentang Pemungutan dan Penghitungan Suara juga dengan jelas menekankan pentingnya aksesibilitas bagi pemilih, terutama di daerah terdampak bencana. KPU wajib memastikan pemilih dapat menyalurkan hak pilihnya secara layak dan aman. Tindakan membuka TPS di lokasi terisolasi, di mana pemilih tidak bisa menjangkau tempat pemungutan suara, jelas melanggar prinsip dasar ini.
“Ini bukan hanya soal teknis. Ini adalah malpraktek demokrasi yang merugikan rakyat dan menghina integritas pemilu itu sendiri,” ujar Harkarando Siregar, seorang advokat terkenal. Harkarando mengecam keras kebijakan KPU yang membuka TPS di daerah yang tidak terjangkau oleh pemilih karena banjir. “KPU menunjukkan ketidakpedulian yang luar biasa terhadap hak rakyat untuk memilih. Ini adalah pelanggaran serius terhadap prinsip dasar demokrasi.”
KPU Kota Binjai tidak hanya gagal menjalankan tugasnya, tetapi mereka juga berisiko melanggar UU No. 10/2016 dan PKPU No. 17/2024. Ini bukan hanya soal kebijakan yang salah, tetapi pelanggaran hukum yang dapat mengancam integritas pemilu dan merusak kepercayaan publik.
Partisipasi Pemilih yang Tergerus oleh Kelalaian KPU
Partisipasi pemilih yang anjlok di tengah bencana ini bukan hanya soal angka. Ini mencerminkan buruknya pengelolaan demokrasi di Kota Binjai. Kegagalan KPU untuk merespons keadaan darurat dengan bijaksana dan bertanggung jawab telah merusak citra demokrasi di daerah ini. Tanpa perbaikan yang serius, kepercayaan publik terhadap proses pemilu akan semakin rapuh.
Kecewa dengan Demokrasi yang Gagal
Penyelenggaraan pilkada yang gagal ini bukan hanya soal angka partisipasi yang rendah, tetapi juga pengabaian terhadap prinsip dasar demokrasi. Rakyat berhak mendapatkan pemilu yang aman, inklusif, dan dapat diakses oleh semua pemilih, tanpa terkecuali. KPU Kota Binjai harus dimintai pertanggungjawaban secara hukum dan politik atas kelalaian ini.
Jangan biarkan kebodohan dan ketidakmampuan merusak proses demokrasi. Rakyat berhak atas pemilu yang lebih baik, bukan pemilu yang terjerumus dalam kegagalan fatal seperti ini. (S Hadi Purba)