JAKARTA, GEMADIKA.com – Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) merupakan sebuah lembaga yang terdiri dari gabungan organisasi Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri). Pembentukan ABRI dimulai sejak era Presiden Soekarno, yang mencanangkan untuk membentuk sebuah lembaga yang mengintegrasikan angkatan perang dan kepolisian.

Pada tahun 1960, keputusan ini diperkuat dengan penerbitan Tap MPRS Nomor II dan III, yang menegaskan bahwa ABRI terdiri dari Angkatan Perang dan Polisi Negara. Keputusan ini kemudian dilanjutkan dengan terbitnya Keppres No.21/1960, yang menghapuskan posisi Menteri Muda Kepolisian dan menggantikannya dengan Menteri Kepolisian Negara yang dipadukan dengan Angkatan Perang dalam satu bidang keamanan nasional.

Pada 19 Juni 1961, DPR-GR mengesahkan Undang-Undang Pokok Kepolisian No.13/1961, yang menegaskan bahwa Polri adalah bagian dari ABRI dengan kedudukan yang setara dengan TNI AD, AL, dan AU. Kemudian, pada Keppres No.94/1962, koordinasi antara menteri-menteri terkait dilakukan oleh Wakil Menteri Pertama bidang pertahanan dan keamanan.

Penyatuan kekuatan militer dan kepolisian ini bertujuan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas dalam menjalankan peran mereka, serta menghindari pengaruh dari kepentingan politik tertentu. Lebih lanjut, Keppres No.155/1965 pada 6 Juli 1965 menyamakan pendidikan AKABRI untuk TNI dan Polri di Magelang selama satu tahun.

Baca juga :  Impor Baja Murah dari China Ancam Industri Baja Lokal dan Pabrikan Otomotif Indonesia

Namun, pada periode 1964-1965, ABRI menghadapi tantangan besar, terutama dari upaya infiltrasi oleh Partai Komunis Indonesia (PKI). PKI berusaha menanamkan pengaruh politik melalui penyusupan di tubuh ABRI, yang mencapai puncaknya dalam peristiwa G30S/PKI yang menggemparkan Indonesia. Dalam kondisi kritis ini, ABRI menjalankan perannya sebagai kekuatan hankam (pertahanan dan keamanan) dengan menumpas pemberontakan PKI, sekaligus sebagai kekuatan sosial-politik yang mendorong pembentukan tatanan politik baru berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

Pada 24 Agustus 1967, melalui SK Presiden No.132/1967, ABRI semakin terintegrasi dalam Departemen Hankam, dengan masing-masing angkatan (AD, AL, AU) serta Polri dipimpin oleh Panglima Angkatan dan bertanggung jawab kepada Menteri Pertahanan/Pangab, yang saat itu dijabat oleh Jenderal Soeharto. Setelah Soeharto terpilih sebagai Presiden pada 1968, jabatan Menteri Pertahanan/Pangab dipindahkan ke Jenderal M. Panggabean.

Selama masa Orde Baru, ABRI juga terlibat dalam dunia politik Indonesia melalui penerapan konsep Dwifungsi ABRI. Konsep ini memberikan kesempatan kepada ABRI untuk tidak hanya berperan dalam bidang militer dan hankam, tetapi juga dalam bidang sosial-politik yang dianggap saling mendukung.

Baca juga :  Sejumlah Menteri Kabinet Merah Putih Belum Melaporkan LHKPN, Ketua KPK: Saya Yakin Mereka Patuh

Namun, pasca reformasi dan jatuhnya Soeharto, situasi politik Indonesia mulai berubah. Keadaan ini mempengaruhi peran ABRI, terutama dengan penghapusan konsep Dwifungsi ABRI dan pemisahan kepolisian dari militer. Polri yang sebelumnya berada di bawah naungan ABRI mulai mendapat tekanan karena perannya yang seharusnya lebih mengutamakan pelayanan kepada masyarakat.

Pada 1 April 1999, pemisahan Polri dari ABRI resmi terjadi berdasarkan Instruksi Presiden Republik Indonesia No. 2 Tahun 1999. Sebagai kelanjutannya, pada 18 Agustus 2000, MPR mengeluarkan Tap MPR No. VI/MPR/2000 yang mengesahkan pemisahan TNI dan Polri, menegaskan peran dan fungsi masing-masing lembaga.

Pemisahan ini kemudian diikuti dengan penerbitan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, yang menandai perubahan besar dalam struktur keamanan dan pertahanan Indonesia. (Mnztd)