JAKARTA, GEMADIKA.com – Pakar otomotif Institut Teknologi Bandung, Yannes Martinus Pasaribu, menyoroti dampak negatif dari praktik impor baja murah dari China terhadap industri baja lokal di Indonesia, terutama bagi pabrikan otomotif yang banyak menggunakan material tersebut.

“Jika dalam jangka panjang industri baja lokal tidak dapat menekan harga, maka dalam jangka panjang dapat merusak kapasitas produksi mereka,” tegas Yannes kepada ANTARA, Rabu (28/6).

Yannes menekankan pentingnya tindakan tegas dari pemerintah untuk menghentikan praktik ini guna menghindari deindustrialisasi. Langkah-langkah yang dapat diambil antara lain deregulasi dalam negeri untuk membuat harga bahan baku industri lebih kompetitif, penerapan bea masuk anti-dumping, penerapan hambatan non-tarif seperti pengetatan dan perluasan SNI, serta pengawasan dan penegakan regulasi yang ketat terhadap impor baja dan pelanggaran.

Baca juga :  Siomay: Camilan Lezat dengan Perpaduan Rasa dan Budaya yang Menggoda

“(Pemerintah harus) menerapkan bea masuk anti dumping, menerapkan non-tarif barrier seperti SNI yang diperketat dan diperluas, melakukan pengawasan dan penegakan regulasi yang ketat terhadap impor baja dan pelanggaran juga penting,” jelas dia.

Pemerintah diharapkan dapat menciptakan iklim usaha yang sehat dan melindungi industri baja lokal dari persaingan tidak sehat. Di sisi lain, pemain lokal juga perlu berinvestasi dalam teknologi pintar untuk meningkatkan efisiensi produksi dan menekan biaya.

“Industri lokal juga perlu reinvestasi untuk memakai teknologi produksi terbaru yang lebih efektif dan efisien untuk menekan production cost,” imbuh Yannes.

Baca juga :  Tidak Hanya PNS Tapera Kini diproyeksikan untuk Pegawai Swasta, Pemberi Kerja Wajib Mendaftarkan Pekerjanya Maksimal Tahun 2027

Data dari The Indonesia Iron & Steel Industry Association (IISIA) menunjukkan bahwa China, yang memproduksi lebih dari setengah baja dunia, dituduh memicu krisis kelebihan kapasitas baja global. Sejak tahun 2000, kapasitas dan produksi baja China meningkat pesat, dengan pabrik baja saat ini mampu memproduksi lebih dari 967.000 ton per tahun, melebihi dua kali lipat kapasitas baja gabungan AS, Uni Eropa, dan India.

Pada 2023, ekspor baja China naik 36,2% menjadi 90,3 juta ton. Indonesia menjadi pasar ekspor terbesar keenam dengan nilai 3,24 miliar dolar AS, setelah Korea Selatan, Vietnam, dan Uni Eropa.