JAKARTA, GEMADIKA.com – Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan yang menghapus persentase pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) yang digelar di Ruang Sidang Pleno MK, Kamis (2/1/2025).
Dalam putusan tersebut, MK menyatakan Pasal 222 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) bertentangan dengan konstitusi.
Menteri Koordinator bidang Hukum, Hak Asasi Manusia (HAM), Imigrasi dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra mengatakan pemerintah menghormati putusan yang telah dikeluarkan MK.
“Sesuai ketentuan Pasal 24C UUD 45, putusan MK adalah putusan pertama dan terakhir yang bersifat final dan mengikat (final and binding),” kata Yusril melalui keterangan tertulis, Jumat (3/1/2025). Melansir cnnindonesia.
Putusan MK itu bersifat mengikat, semua pihak termasuk pemerintah tidak dapat melakukan upaya hukum apapun untuk membatalkan putusan tersebut.
Ia menyadari permohonan untuk menguji ketentuan Pasal 222 UU Pemilu telah dilakukan lebih dari 30 kali, dan baru pada pengujian terakhir dikabulkan.
“Namun, apa pun juga pertimbangan hukum MK dalam mengambil putusan itu, pemerintah menghormatinya dan tentu tidak dalam posisi dapat mengomentari sebagaimana dapat dilakukan para akademisi atau aktivis,” jelas Yusril.
“MK berwenang menguji norma Undang-undang dan berwenang pula menyatakannya bertentangan dengan UUD 45 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” lanjutnya.
MK telah mengeluarkan tiga putusan dengan nomor 87, 121 dan 129/PUU-XXII/2024 yang membatalkan keberadaan ambang batas pencalonan pasangan presiden dan wakil presiden.
Selanjutnya, pemerintah akan membahas implikasinya terhadap pengaturan pelaksanaan Pilpres tahun 2029.
“Jika diperlukan perubahan dan penambahan norma dalam UU Pemilu akibat penghapusan presidential threshold, maka pemerintah tentu akan menggarapnya bersama-sama dengan DPR,” ucap Yusril.
“Semua stakeholders termasuk KPU dan Bawaslu, akademisi, pegiat pemilu dan masyarakat tentu akan dilibatkan dalam pembahasan itu nantinya,” tegasnya.
Sebelumnya, MK mengabulkan seluruh permohonan yang diajukan oleh empat orang Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga, yakni Enika Maya Oktavia, Rizki Maulana Syafei, Faisal Nasirul Haq dan Tsalis Khoriul Fatna.
MK menilai Pasal 222 UU Pemilu bertentangan dengan konstitusi dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Pasal itu dinilai melanggar hak politik dan kedaulatan rakyat serta melanggar moralitas.
Dengan putusan tersebut, setiap partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu mendatang berhak mencalonkan pasangan calon presiden dan wakil presiden tanpa ambang batas lagi.
Guna mencegah menjamurnya pasangan calon, MK merekomendasikan lima poin yang termuat dalam rekayasa konstitusional atau constitutional engineering. (Reza Ori)
Tinggalkan Balasan Batalkan balasan