GROBOGAN, GEMADIKA.com – Tersembunyi di sudut Kabupaten Grobogan, tepatnya di Desa Tarub, Kecamatan Tawangharjo, terdapat sebuah makam yang tak pernah absen dikunjungi oleh Bupati Grobogan beserta jajarannya setiap peringatan hari jadi kabupaten. Makam tersebut adalah tempat peristirahatan terakhir sosok legendaris Ki Ageng Tarub, yang ternyata bukan sekadar tokoh dongeng, melainkan cikal bakal raja-raja Tanah Jawa.
Berjarak sekitar 14 kilometer dari Alun-Alun Purwodadi dengan waktu tempuh 25-30 menit, makam ini mudah dijangkau. Dari perempatan Ngantru, Tawangharjo, pengunjung cukup berbelok ke arah utara sejauh 2 kilometer untuk menemukan kompleks pemakaman bersejarah ini.
Masyarakat Jawa mengenal sosok Ki Ageng Tarub melalui kisah Joko Tarub dan bidadari. Namun, temuan sejarah membuktikan bahwa Ki Ageng Tarub bukanlah tokoh fiktif, melainkan tokoh penting dalam penyebaran Islam dan silsilah kerajaan di pulau Jawa.
Juru Kunci Makam Ki Ageng Tarub, Kanjeng Raden Arya Tumenggung (KRAT) Hastono Adinagoro atau Priyana memberikan penuturan tentang asal-usul tokoh berpengaruh ini.
“Jadi Ki Ageng Tarub itu punjernya tanah Jawa. Semasa hidupnya memperjuangkan agama Islam di tanah Jawa. Ki Ageng Tarub itu dikaruniai karomah yang luar biasa. Biar pun keponakan Sunan Kalijaga, tapi tidak pernah membawa senjata. Istilahnya nyepuhi,” terang juru kunci.
Berdasarkan catatan sejarah, Ki Ageng Tarub atau yang dikenal dengan nama Sayyid Ibrahim adalah keturunan Syech Jumadil Kubro, seorang penyebar agama Islam yang datang dari Arab ke Tanah Jawa sekitar tahun 1300 Masehi.
Syech Jumadil Kubro hadir di Jawa dengan misi menyebarkan agama Islam ketika mayoritas penduduk masih memeluk agama Buddha. Pendekatan unik yang dilakukannya adalah dengan bertapa ‘ngalong’, yakni menggelantungkan badannya seperti kelelawar di pohon.
Dalam perjalanan spiritualnya, Syech Jumadil Kubra bertemu dengan Dewi Retno Roso Wulan, adik Sunan Kalijaga. Dewi Retno saat itu sedang menjalankan bertapa selama tujuh tahun di hutan atas perintah ayahnya, Bupati Tuban Adipati Wilotikto.
“Itu syarat yang diberikan ayahandanya untuk bertemu Sunan Kalijaga. Di hutan itu hanya boleh makan dedaunan dan tidak boleh pulang,” kata KRT Hastono pada MURIANEWS.
Dari pertemuan itulah, akhirnya keduanya menikah dan dikaruniai seorang putra yang kelak dikenal sebagai Joko Tarub atau Ki Ageng Tarub. Lahir di awal abad ke-14, Joko Tarub kecil diasuh oleh seorang janda bernama Dewi Kasihan.
Kisah cinta Ki Ageng Tarub dengan Dewi Nawang Wulan, seorang bidadari yang selendangnya tak sengaja terbawa olehnya, melahirkan seorang putri bernama Dewi Nawangsih. Setelah dewasa, Dewi Nawangsih dipersunting oleh putra Prabu Brawijaya V, yaitu Bondan Kejawen.
Dari pernikahan inilah lahir Ki Ageng Getas Pendowo, yang kemudian memiliki putra bernama Ki Ageng Selo. Keturunan Ki Ageng Selo inilah yang kemudian menjadi cikal bakal raja-raja Mataram Islam di pulau Jawa hingga kini menjadi empat keraton besar: Kasultanan Yogyakarta, Kasunanan Surakarta, Kadipaten Mangkunegaran, dan Kadipaten Paku Alaman.
Makam Ki Ageng Tarub dikenal dengan suasananya yang tenang dan sejuk, sehingga banyak peziarah dapat khusyuk berdoa di kompleks ini. Bangunannya berupa genteng susun tiga dengan lantai dan dinding porselin putih, sementara bagian dalamnya didominasi warna hijau.
Di sekeliling makam terdapat pagar semen dan potongan pipa besi dengan kelambu penutup makam berwarna putih, memberikan nuansa sakral pada tempat peristirahatan terakhir leluhur raja-raja Jawa ini.
Semasa hidupnya, Ki Ageng Tarub dikenal sebagai sosok zuhud, rajin bertirakat, dan dermawan. Beliau menjadi teladan dan tempat bertanya masyarakat saat menghadapi permasalahan. Hingga kini, karomah atau keistimewaan spiritual yang dimilikinya masih dipercaya oleh masyarakat, menjadikan makamnya sebagai destinasi ziarah populer bagi pengunjung dari dalam dan luar kota.
Tradisi ziarah ke makam Ki Ageng Tarub terus berlangsung, terutama pada peringatan haul beliau setiap tanggal 15 Safar dalam penanggalan Hijriyah.
Tinggalkan Balasan Batalkan balasan