DEMAK, GEMADIKA.com – Di tengah deburan ombak Laut Jawa yang menerjang pesisir Demak, sebuah makam tetap berdiri kokoh meski terancam abrasi. Makam Syekh Abdullah Mudzakir atau yang akrab disapa Mbah Mudzakir di Desa Bedono, Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak, Jawa Tengah, menjadi salah satu destinasi wisata religi unik yang menarik ribuan peziarah sepanjang tahun.

Kabupaten Demak yang dikenal sebagai Kota Wali memang menyimpan banyak situs religi yang menjadi magnet bagi para pencari berkah. Namun, makam Syekh Mudzakir memiliki keunikan tersendiri karena lokasinya yang berada di tengah lautan, sekitar empat kilometer dari jalan raya.

Pengalaman Spiritual di Tengah Lautan

Ahmad, juru kunci Makam Syekh Mudzakir, menjelaskan bahwa tempat ini selalu ramai dikunjungi terutama pada akhir pekan.

“Bahkan dari luar Jawa dari Kalimantan dan ada juga dari luar Indonesia,” ujarnya.

Menurut Ahmad, awalnya lokasi ini merupakan makam umum. Namun sejak tahun 1998-1999, abrasi laut mulai menggerus daratan hingga Kampung Tambaksari perlahan terendam air laut.

“Pada tahun itu warga Desa Tambaksari pada pindah ke Purwosari Sayung sekitar 70 Kepala Keluarga (KK) pindah dari sini (Kampung Tambaksari). Yang masih bertahan di Kampung Tambaksari saat sekitar 5 kepala Keluarga (KK) dan ada 20 jiwa,” jelasnya.

Mereka yang tetap bertahan memiliki tujuan mulia: menjaga makam, masjid, dan madrasah di sekitar area tersebut.

“Karena di makam ini keluarga Syekh Mudzakir dimakamkan. Dari istri sampai menantu di sini semua. Dan sebenarnya banyak makam yang ada di bawah sini, mungkin ratusan makam,” tambahnya.

Perjalanan Unik Menuju Makam

Pengalaman berziarah ke Makam Syekh Mudzakir menawarkan nuansa berbeda dibandingkan dengan ziarah ke makam waliyullah lainnya. Untuk mencapai lokasi makam, peziarah harus menaiki perahu atau melalui jembatan kayu penghubung yang sempit dan panjang.

Makam keramat ini terletak hanya sekitar 20 meter arah utara Pulau Blekok, sebuah daratan yang dulunya merupakan perkampungan warga. Akibat abrasi dan rob, daratan tersebut kini semakin terkikis dan terpisah dari Desa Bedono. Pulau Blekok kini ditumbuhi hutan mangrove yang menjadi habitat burung blekok atau kuntul.

Baca juga :  Menikmati Pesona Alam dan Kuliner di Gunungsari Kopeng, Surga Tersembunyi di Jawa Tengah

Widodo (43), warga Kota Semarang, mengungkapkan bahwa ia dan keluarganya berziarah ke Makam Syekh Mudzakir untuk ngalap berkah.

“Di makam bisa mengaji Alquran, baca tahlil dan kirim doa. Saya doa sebisanya,” ujarnya.

Ia menambahkan bahwa berziarah ke makam waliyullah sudah menjadi rutinitas yang dijalaninya selama ini sebagai pengalaman religi.

“Sebab, selain mengingat perjuangan para wali selaku penyebar agama Islam, dengan ziarah kita juga selalu ingat mati,” katanya.

Akses dan Pengelolaan Makam

Untung (56), tokoh masyarakat setempat menjelaskan bahwa untuk mengakses makam Syekh Mudzakir, banyak peziarah yang menggunakan jasa perahu nelayan. Dengan mesin diesel, perahu melaju kencang diiringi deburan ombak. Selain berziarah ke makam, pengunjung juga dapat berkeliling hutan mangrove untuk menikmati suasana kawasan konservasi.

“Sekarang tinggal 5 KK saja yang tidak mau dipindahkan,” ujarnya, merujuk pada penduduk Dukuh Tambaksari yang masih bertahan meski kawasan tersebut terdampak abrasi sejak 1999.

Kepala Desa Bedono, Agus Salim, mengatakan bahwa pada hari-hari biasa jumlah peziarah bisa mencapai 200-an orang, meskipun jumlah ini menurun drastis selama bulan Ramadhan.

“Biasanya bisa lewat jalur darat. Tapi, jalan setapak ini putus dan rusak berat dihancurkan rob dan abrasi,” katanya.

Untuk bisa ke makam Syekh Mudzakir, peziarah dapat menyewa perahu nelayan setempat dengan biaya Rp 10.000 per orang dari Pantai Morosari. Meskipun sering terkena dampak abrasi dan rob Laut Jawa, pengelola terus berupaya meninggikan serta memugar makam. Saat ini, kondisi makam semakin baik dan nyaman untuk tempat berziarah dengan akses jalan utama sepanjang 2,5 kilometer yang telah dibetonisasi oleh Pemkab Demak.

Sejarah dan Karomah Syekh Mudzakir

Berdasarkan sejarah yang dituturkan warga setempat, Syekh KH Abdullah Mudzakir adalah seorang pejuang kemerdekaan yang hidup antara tahun 1878-1950. Ia berasal dari Desa Wringinjajar, Kecamatan Mranggen, sebelum akhirnya menetap dan menyebarkan ajaran Islam di pesisir Pantai Sayung.

Baca juga :  Babinsa dan Warga Gotong Royong Lakukan Pengecoran Jalan Demi Akses Lebih Baik

Syekh Mudzakir diketahui masih satu angkatan dengan Kiai Tohir (Mbah Tohir) yang dimakamkan di Dusun Nyangkringan, Desa Sriwulan Sayung. Keduanya pernah menjadi santri Kiai (Syekh) Saleh Darat dari Bergota, Semarang.

Menurut satu versi cerita, Kiai Tohir berasal dari Gujarat, India. Dalam perantauannya, ia sempat terdampar di Semarang dan bertemu dengan Syekh Mudzakir yang sama-sama berguru pada Syekh Saleh Darat. Setelah menyelesaikan pendidikan, keduanya berpencar untuk berdakwah meskipun tempat tinggal mereka tidak berjauhan.

Na’im Anwar, warga setempat, menuturkan bahwa Syekh Mudzakir dikenal memiliki kemampuan linuwih (luar biasa).

“Dulu, ceritanya, Syekh Mudzakir pernah dikejar-kejar Belanda. Ia sulit ditemukan lantaran dipercaya memiliki kemampuan linuwih (menghilang). Kalau mau ditembak pun, pistol Belanda tak bisa menyalak atau meletus,” ujar Na’im.

Na’im yang sejak kecil tinggal di Morosari Sayung itu menambahkan bahwa kemampuan serupa juga dimiliki oleh Kiai Tohir.

“Saat ada orang Belanda minta minum air kelapa, pohon kelapa itu langsung merunduk. Orang Belanda pun terkejut dengan kemampuan beliau. Saat itulah, orang Belanda itu ketakutan,” ujar mantan kasatkorcab Banser Kabupaten Demak ini.

Cerita tentang karomah (keistimewaan) kedua pejuang asal Sayung tersebut diwariskan secara turun-temurun hingga sekarang. Keberadaan Makam Syekh Mudzakir diyakini cukup istimewa karena meski berada di atas lautan, makam tersebut hingga kini tidak tenggelam.

“Disana, banyak orang tirakatan, termasuk saat bulan puasa Ramadan seperti sekarang ini,” kata Na’im.

Untuk mengenang perjuangan Syekh Mudzakir, setiap akhir bulan Dzulqo’dah warga setempat mengadakan haul di makam yang berada di atas lautan tersebut. Dalam acara ini, warga bertawasul dan berdoa memohon kepada Allah SWT agar diberi keselamatan dan dijauhkan dari bencana.

Makam dengan luas 250 meter persegi ini kini sepenuhnya dikepung air laut. Sebelumnya, bangunan makam masih menyatu dengan Pulau Blekok, Dusun Tambaksari. Namun, akibat abrasi yang berlangsung selama bertahun-tahun, bangunan makam kini terpisah dari pulau tersebut.