KUDUS, GEMADIKA.com – Mengenai sosok waliyullah yang memiliki keunikan tersendiri dalam dakwahnya, yaitu Almarhum Al-Habib Ja’far bin Muhammad bin Hamid bin Umar Alkaff. Bagi yang belum mengenal sosok beliau, simak kisah luar biasa tentang wali Allah yang lahir dan diangkat maqamnya di Kudus ini.
Siapa Habib Ja’far Alkaff?
Habib Ja’far bin Muhammad bin Hamid bin Umar Alkaff adalah seorang wali Allah yang berasal dari Semarang, Indonesia. Meski demikian, beliau sesungguhnya asli dari Kudus dengan rumah kediaman ayah beliau terletak di desa Dema’an, Kota Kudus. Di kota inilah beliau dilahirkan dan kemudian diangkat maqomnya sebagai wali oleh Allah SWT.
Dalam khazanah tasawuf, beliau dikenal memiliki maqam majdub, yaitu tingkatan spiritual di mana seseorang terserap sepenuhnya dalam kecintaan kepada Allah hingga terkadang melakukan hal-hal yang di luar kebiasaan normal manusia. Yang lebih menarik, pembimbing spiritual beliau konon adalah Nabiyullah Khidir Balya bin Malkan.
Perilaku Khoriqul Adah sebagai Cara Membimbing
Habib Ja’far dikenal sebagai seseorang yang khoriqul adah (memiliki kebiasaan di luar kebiasaan normal). Salah satu yang paling terkenal adalah kebiasaan beliau membuang uang ke laut dalam jumlah yang tidak sedikit – puluhan juta, ratusan juta, hingga miliaran rupiah dilemparkan begitu saja ke laut.
Meski berperilaku jadzab (berbuat aneh), ternyata di balik tindakan tersebut terdapat hikmah dan pelajaran spiritual yang mendalam bagi para muhibbin (pecinta) beliau. Berikut salah satu kisah bagaimana beliau membimbing muridnya:
Suatu ketika, beliau memanggil salah seorang muhibbinnya dan memberikan uang.
“Ji… ini duit buat kamu. Buat beli For tuner, ya?” kata Habib Ja’far.
“Njih, bib,” jawab Pak Kaji sambil menghitung jumlah uang pemberian Habib yang totalnya hanya 400 ribu rupiah.
Melihat uangnya dihitung, Habib Ja’far langsung menegur, “Jangan dihitung, Ji. Harus ikhlaaas.”
Ini menjadi pelajaran pertama dari Habib Ja’far, bahwa pemberian Allah—baik berupa uang atau harta lainnya—tidak boleh dilihat dari segi materi atau jumlahnya. Yang harus diperhatikan adalah siapa yang memberi, yaitu Allah Ta’ala. Sebagaimana saputangan yang harganya murah, namun jika merupakan pemberian dari kekasih, nilainya tak terhingga.

Pelajaran Melepaskan Keduniawian
Beberapa waktu kemudian, Habib Ja’far mengajak muridnya tersebut ke tepi laut. Beliau berkata, “Jii… ini duit dalam tas semua, ayoh dibuang ke lauuut. Diniati shadaqah Sir/rahasia, yaa? Diniati shadaqah Sir yaa?”
Bersama salah satu khadim (pembantu), Pak Kaji tersebut membuang lembaran-lembaran uang ke laut. Diperkirakan tidak kurang dari 20 juta rupiah uang yang dibuang.
Muhibbin itu berpikir keras apa makna perbuatan ini serta kaitannya dengan dirinya. Ini menjadi pelajaran kedua baginya, bahwa bagi seorang Arif billah (orang yang mengenal Allah), antara uang dan tanah liat nilainya tidak ada bedanya. Yang membuat berbeda adalah kecintaan hati kepada salah satunya. Jika tidak ada cinta (karena yang dicintai hanyalah Allah), maka emas, uang, atau benda lain tidak lagi berharga sehingga tidak layak dikejar apalagi dicintai.
Kontroversi dan Penjelasan
Perbuatan membuang uang ke laut pernah menjadi sasaran kritik Ibnul Qayyim terhadap kaum Sufiyyah yang melakukannya. Secara fikih zahir, tindakan tersebut dianggap haram karena termasuk “tadzyi’ul maal” (mensia-siakan harta).
Namun, sebagian Arifin (orang-orang yang mengenal Allah) memberikan penjelasan:
“Kaum Sufiyyah membuang harta ke laut saat mereka mulai merasa hatinya tertambat dengan harta tersebut. Bagi seorang Sufi, haram hukumnya mencintai harta dunia, dan bahaya cinta dunia itu lebih dahsyat dari dosanya mensia-siakan harta. Jika ditanya, mengapa tidak disedekahkan saja? Dijawab bahwa terhadap sosok Sufi seperti diri mereka sendiri saja, mereka tidak mempercayai untuk menyerahkan ‘dunia’, apalagi terhadap orang lain. Kekhawatiran tersebut membuat mereka terpaksa membuangnya ke laut.”
Apa yang dilakukan Habib Ja’far juga selaras dengan hal di atas, dimana beliau ingin mengajari muhibbinnya agar tidak cinta dunia. Beliau mempraktikkan sendiri di depan mata muridnya, membuang uang berjuta-juta ke tengah laut, seolah berkata: “Ji, jangan kedunyan (cinta dunia). Duit itu bagi seorang yang ‘mengerti’, tidak ada nilainya.”
Kasyaf dan Kemampuan Spiritual
Kemampuan spiritual Habib Ja’far juga terlihat dari kisah lanjutan tersebut. Saat akan pulang, beliau memanggil muridnya kembali: “Ji, kamu punya tanaman dalam pot di pojok rumah?”
Pak Kaji menjawab: “Bener, Bib.”
“Sampai rumah, cabuten ae (cabut saja),” kata beliau.
Pak Kaji tercenung, bukan karena heran Habib Ja’far bisa mengetahui tentang tanamannya—karena hal-hal kasyaf (tersingkapnya sesuatu yang gaib) semacam itu sudah biasa dijumpainya dalam diri Habib Ja’far. Dia tercenung karena baru menyadari bahwa ini adalah pelajaran penting untuknya, mengingat beberapa waktu belakangan dia sangat suka merawat tanaman tersebut.
“Harganya mahal. Saya membelinya 7 juta rupiah,” kata Pak Kaji.
Melalui peristiwa ini, tampaknya Habib Ja’far ingin mengajarkan: “Ji, bebaskan hatimu dari kecondongan pada tanaman berharga jutaan. Bersihkan hatimu dari kecintaan pada mobil Fortuner. Bersihkan hatimu dari kicauan Lovebird. Bersihkan hatimu dari akik Bacanmu. Bersihkan hatimu dari wajah ayu istrimu dan gemesinnya anak-anakmu… bersihkan… bersihkan… bersihkan…”
Tinggalkan Balasan Batalkan balasan