MADURA, GEMADIKA.com – Karapan Sapi tradisi perlombaan balap sapi khas Madura—bukan sekadar ajang kompetisi biasa. Merupakan warisan budaya yang telah menembus berbagai era, tradisi ini masih teguh dipertahankan hingga kini, termasuk sebagai bagian dari perayaan HUT Kemerdekaan Indonesia yang diselenggarakan rutin antara Agustus hingga September dengan memperebutkan Piala Presiden.

Akar Sejarah yang Mendalam

Sejarah mencatat bahwa tradisi ini telah berlangsung sejak abad ke-16, bertepatan dengan masa penyebaran agama Islam di Pulau Madura. Tokoh sentral dalam lahirnya tradisi ini adalah Syekh Ahmad Baidawi, seorang ulama dari Kesultanan Demak yang tidak hanya menyebarkan ajaran Islam tetapi juga memperkenalkan teknologi pertanian baru kepada masyarakat setempat.

“Pangeran Katandur mengajarkan cara membajak tanah dengan menggunakan tenaga hewan yaitu Sapi,” demikian catatan sejarah menyebutkan, merujuk pada julukan Syekh Ahmad Baidawi yang dalam bahasa Jawa berarti ‘Pangeran yang Menanam’.

Inovasi pertanian ini membawa perubahan signifikan bagi masyarakat Madura. Metode pengolahan tanah dengan bantuan sapi terbukti jauh lebih efisien dibandingkan penggunaan cangkul konvensional. Antusiasme masyarakat terhadap teknologi baru ini kemudian berkembang menjadi kompetisi informal untuk menguji kecepatan dalam mengolah lahan.

Baca juga :  Suku Sunda: Warisan Budaya, Keunikan, Dan Identitas

Dari sinilah istilah “Garapan Sapi” muncul, yang seiring waktu bertransformasi menjadi “Karapan Sapi” yang kita kenal sekarang.

Evolusi dan Perluasan Tradisi

Pada abad ke-18, tradisi ini mengalami transformasi penting di bawah kepemimpinan Panembahan Somala, seorang Adipati dari Sumenep. Beliau memodifikasi format perlombaan agar dilangsungkan di lapangan terbuka dengan sentuhan estetika berupa hiasan “Ubo Rampe”, ornamen khas Kerajaan Sumenep yang memperkaya nilai artistik perlombaan.

Popularitas Karapan Sapi kemudian menyebar ke berbagai wilayah Madura, mulai dari Pamekasan hingga ke ujung barat pulau. Persaingan yang semakin ketat antar peserta membawa dimensi baru dalam perlombaan ini.

“Setiap peserta harus menjaga keselamatan sapi dan joki yang akan dilombakan,” menjadi prinsip penting dalam tradisi ini. Untuk menjamin keamanan, para peserta bahkan sampai menyewa “Warok” dari Ponorogo sebagai “Penjagheh” (penjaga) untuk melindungi aset berharga mereka dari gangguan lawan.

Baca juga :  Ikhtiar Tawaf Keummatan, Plh Sekprov Sulbar Kunjungi Ulama untuk Sinergi Umat

Dari Masa Kolonial hingga Kontroversi Modern

Pada masa kolonial, keunikan Karapan Sapi berhasil menarik perhatian dunia internasional. Perlombaan ini menjadi objek wisata yang diminati oleh turis-turis Eropa, menandai awal internasionalisasi budaya Madura.

Namun perjalanan tradisi ini tidak selalu mulus. Di era modern, Karapan Sapi menghadapi tantangan berupa kontroversi terkait aspek kesejahteraan hewan. MUI Madura pernah mengeluarkan fatwa yang mengharamkan praktik Karapan Sapi yang melibatkan kekerasan terhadap hewan, mendorong pelestarian tradisi dengan cara yang lebih etis dan manusiawi.

Melestarikan Warisan

Saat ini, upaya pelestarian Karapan Sapi terus dilakukan dengan pendekatan yang menyeimbangkan antara nilai tradisi dan etika modern. Festival Karapan Sapi tidak hanya menjadi ajang kompetisi, tetapi juga sarana edukasi budaya dan pariwisata yang berkontribusi pada perekonomian lokal.

Tradisi ini menjadi bukti kecerdasan lokal masyarakat Madura dalam mengadaptasi teknologi pertanian menjadi sebuah ekspresi budaya yang kaya makna dan nilai.