BALI, GEMADIKA.com – Tersembunyi di tepian Danau Batur, Desa Trunyan di Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli, Bali, menyimpan tradisi pemakaman yang mungkin terasa mencengangkan bagi dunia modern. Di desa kuno ini, penduduk tidak mengubur atau mengkremasikan jenazah keluarga mereka yang meninggal, melainkan mempraktikkan ritual “Mepasah” yang telah berlangsung berabad-abad.
Tradisi Mepasah: Ketika Jenazah Berdampingan dengan Alam
Berdasarkan informasi resmi dari laman Wonderful Indonesia, jenazah di Desa Trunyan hanya diletakkan di permukaan tanah terbuka di bawah pohon sakti bernama Taru Menyan. Yang paling menakjubkan, pohon ini memiliki kemampuan mistis untuk menghilangkan bau jenazah yang membusuk, sehingga lokasi pemakaman tetap tidak berbau menyengat meski terdapat belasan jenazah di sana.
“Jenazah di Desa Trunyan diletakkan dengan hanya ditutupi kain putih. Meski begitu, jenazah tidak menimbulkan bau busuk dan tidak dihinggapi serangga. Fenomena tersebut karena adanya pohon Taru Menyan, yang dapat mengeluarkan wangi harum dan mampu menetralisir bau busuk,” demikian penjelasan dari laman resmi Dinas Pariwisata Provinsi Bali.
Aturan Ketat dalam Ritual Mepasah
Tidak semua warga Desa Trunyan bisa dimakamkan dengan metode Mepasah. Terdapat beberapa aturan dan syarat yang harus dipenuhi:
- Jumlah jenazah di bawah pohon Taru Menyan tidak boleh lebih dari sebelas orang
- Orang yang meninggal wajib meninggal secara wajar (bukan karena kecelakaan atau bunuh diri)
- Sudah menikah
- Memiliki anggota tubuh yang lengkap
Wilayah pemakaman utama dengan metode Mepasah di bawah pohon Taru Menyan disebut Sema Wayah.
Tiga Zona Pemakaman Berbeda
Masyarakat Desa Trunyan mengkategorikan pemakaman mereka menjadi tiga zona berbeda, tergantung pada kondisi jenazah:
- Sema Wayah – untuk orang dewasa yang sudah menikah dan meninggal secara wajar
- Sema Muda – khusus untuk anak-anak atau orang dewasa yang belum menikah
- Sema Bantas – diperuntukkan bagi mereka yang meninggal secara tidak wajar atau memiliki anggota tubuh tidak lengkap karena penyakit
Asal-Usul Nama Trunyan
Nama Desa Trunyan sendiri berasal dari kata “Taru” yang berarti kayu dan “Menyat” yang berarti harum. Pohon Taru Menyan yang hanya tumbuh di desa ini kemudian menjadi cikal bakal nama “Trunyan” yang dikenal hingga saat ini.
Makna Filosofis di Balik Ritual Mepasah
Tradisi Mepasah bukan sekadar ritual pemakaman biasa, melainkan cerminan filosofi hidup mendalam masyarakat Bali Aga (penduduk asli Bali) di Trunyan:
1. Kembalinya ke Alam
Dengan meletakkan jenazah di bawah pohon Taru Menyan, masyarakat Trunyan meyakini bahwa mereka membantu jiwa untuk kembali ke siklus kehidupan dan kematian. Pohon sakti ini dianggap memiliki kekuatan untuk menyucikan jiwa yang berpulang.
2. Persatuan dengan Leluhur
Tempat pemakaman di bawah pohon Taru Menyan dipercaya sebagai lokasi berkumpulnya arwah leluhur. Ritual ini memperkuat hubungan antara yang hidup dan yang telah tiada, sekaligus menunjukkan rasa hormat kepada para pendahulu.
3. Keseimbangan Alam
Masyarakat Trunyan menjaga keseimbangan alam melalui Mepasah. Dengan membiarkan jenazah terurai secara alami, mereka meminimalkan penggunaan bahan bakar dan bahan kimia yang potensial mencemari lingkungan.
Teori Asal-Usul Tradisi Mepasah
Beberapa peneliti budaya memperkirakan tradisi unik ini memiliki beberapa kemungkinan asal-usul:
“Teori lain menunjukkan pengaruh kerajaan Majapahit di Jawa pada abad ke-14. Majapahit memiliki pengaruh kuat di Bali, dan beberapa ritual dan tradisi mereka mungkin telah diadopsi oleh masyarakat Bali Aga,” demikian menurut catatan sejarah.
Namun, ada pula kemungkinan bahwa Mepasah adalah tradisi lokal yang berkembang secara mandiri di Trunyan, terinspirasi dari lingkungan alam sekitar dan pohon Taru Menyan yang dianggap memiliki kekuatan supranatural.
Desa Trunyan dengan tradisi Mepasah-nya menjadi bukti kekayaan warisan budaya Indonesia yang masih bertahan di tengah arus modernisasi, mengingatkan kita bahwa beragam filosofi tentang hidup dan mati masih dipegang teguh oleh berbagai komunitas adat di Nusantara.