SEMARANG, GEMADIKA.com – Sejarah penyebaran Islam melalui kunjungan ke situs bersejarah yang hingga kini masih menjadi destinasi ziarah spiritual populer. Terletak di Dusun Nyatnyono, Ungaran, Semarang, makam Waliyullah Kyai Hasan Munadi dan putranya, Waliyullah Kyai Hasan Dipuro, menjadi magnet bagi para peziarah dari berbagai daerah, bahkan dari luar Pulau Jawa.
Kisah Keramat di Balik Nama Nyatnyono
Nama dusun Nyatnyono sendiri memiliki kisah unik yang berkaitan erat dengan karomah (keramat) Waliyullah Kyai Hasan Munadi. Setelah menimba ilmu dari Sunan Ampel bersama Raden Patah, Kyai Hasan Munadi dan putranya diperintahkan untuk kembali ke kampung halaman guna mengembangkan ajaran Islam di wilayah Semarang dan sekitarnya.
Sebelum memulai dakwahnya, Kyai Hasan Munadi berkhalwat (menyepi) di Puncak Gunung Suroloyo selama seratus hari untuk memohon petunjuk dari Allah SWT. Dalam khalwatnya, beliau mendapat isyarat berupa penglihatan sebuah petakan masjid di lereng bukit yang kemudian dikenal sebagai Dusun Nyatnyono.
“Yang menjadi asal-muasal nama Nyatnyono sendiri, yang berarti ‘berdiri tahu-tahu sudah ada’. Setelah mendapat isyarat itu, Kyai Hasan pun keluar dari khalwatnya untuk menuju kampung tempat petakan masjid dalam isyarat itu berada,” demikian kisah yang dituturkan secara turun-temurun.
Keajaiban terjadi ketika Kyai Hasan keluar dari tempat khalwatnya. Atas izin Allah, petakan masjid yang dilihatnya dalam isyarat ternyata benar-benar sudah berdiri di Lereng Gunung Suroloyo. Peristiwa luar biasa inilah yang menjadi asal-usul nama dusun tersebut: Nyatnyono, yang bermakna “tahu-tahu sudah ada”.
Peran Penting dalam Kerajaan Demak

Dalam catatan sejarah, Kyai Hasan Munadi merupakan punggawa penting Kerajaan Demak di bawah kepemimpinan Raden Fatah. Dengan gelar tumenggung, beliau dipercaya memimpin pasukan Demak untuk mengatasi segala bentuk kejahatan dan ancaman terhadap kejayaan kerajaan.
Kyai Hasan Munadi kemudian memilih untuk fokus mensyiarkan Islam di daerah selatan kerajaan. Beliau wafat pada usia 130 tahun di Ponorogo dan dimakamkan di sana. Namun sesuai wasiatnya, pada malam 21 Ramadhan, jasad beserta tanahnya diambil oleh putranya, Waliyullah Hasan Dipuro, untuk dimakamkan di Nyatnyono.
Hubungan dengan Masjid Agung Demak

Kisah Kyai Hasan Munadi juga berkaitan dengan pembangunan Masjid Agung Demak. Saat Raden Patah bersama Wali Songo berencana membangun masjid di Demak, mereka mengutus seseorang ke Nyatnyono untuk meminta restu dari Kyai Hasan Munadi.
Restu pun diberikan, namun karena di Nyatnyono juga sedang menyempurnakan masjid, Kyai Hasan Munadi meminta agar satu soko (tiang) yang akan digunakan di Masjid Demak dijadikan penyangga masjid di Nyatnyono. Permintaan tersebut disetujui dan tiyang dari Demak pun diusung ke Nyatnyono.
“Setelah musyawarah, Sunan Kalijaga ditugasi membuat satu tiang pengganti. Maka dibuatkanlah tiyang pengganti tersebut dari tatal. Jadi, Masjid Nyatnyono itu dibangun lebih dulu dibanding Masjid Demak,” kata penutur sejarah setempat.
Saat proses renovasi Masjid Nyatnyono pada zaman penjajahan Belanda, satu soko yang berasal dari Demak tersebut dibagi menjadi empat soko, menambah nilai historis bangunan tersebut.
Hingga kini, kompleks makam Kyai Hasan Munadi dan Kyai Hasan Dipuro di Nyatnyono terus menjadi tempat berdzikir dan khoul (peringatan wafat) yang ramai dikunjungi, menjadi bukti hidup peninggalan sejarah penyebaran Islam di Pulau Jawa yang tetap lestari. (Redjo Mbolang)
Tinggalkan Balasan Batalkan balasan