JAKARTA, GEMADIKA.com – Rencana pengiriman siswa bermasalah ke barak militer menuai kritik dari berbagai kalangan, termasuk pengamat keamanan yang menyebutnya sebagai bentuk “kemalasan birokrasi” dalam menangani permasalahan kompleks remaja.
Dilansir dari Kompas.com, Pengamat militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi mengungkapkan keprihatinannya terhadap kebijakan ini. Ia menegaskan bahwa kenakalan remaja bukanlah ancaman keamanan nasional yang memerlukan intervensi militer.
“Alih-alih merancang intervensi pendidikan dan konseling yang kontekstual, kebijakan ini justru memilih jalan pintas yakni menyerahkan anak-anak tersebut ke lingkungan militer,” kata Fahmi kepada Kompas.com, Rabu (30/4/2025).
“Ini bukan saja berisiko secara psikologis, tapi juga menegaskan satu hal yakni kemalasan birokrasi daerah dalam menghadirkan solusi yang kreatif dan humanis,” ujarnya lagi.
Menurut Fahmi, permasalahan seperti tawuran, mabuk, kecanduan gim, atau pembangkangan merupakan cerminan masalah psikososial kompleks yang membutuhkan pendekatan berbeda. Solusi yang tepat, menurutnya, harusnya berbasis pendampingan, bukan sekedar penertiban dengan gaya militer.
Fahmi juga mengkritisi pendekatan militeristik dalam pendidikan yang menurutnya mencerminkan “krisis ide” dari pihak pemangku kebijakan.
“Mengandalkan institusi militer untuk menyelesaikan masalah sosial sipil mencerminkan krisis ide, bukan ketegasan kepemimpinan,” tegasnya.
Dalam analisisnya, Fahmi menekankan bahwa kedisiplinan sejati tidak harus dicapai melalui pendekatan militeristik. Ia berpendapat bahwa disiplin yang berkelanjutan seharusnya lahir dari kesadaran internal, bukan dari rasa takut terhadap hukuman.
“Yang dibutuhkan siswa bukan barak, tapi ruang belajar yang memulihkan. Kalau yang bermasalah adalah sikap, maka pendekatannya harus bersifat pedagogis dan reflektif, bukan koersif,” ujarnya.
Disisi lain, Dedi Mulyadi telah mengumumkan rencana untuk menggandeng TNI dan Polri dalam program pendidikan berkarakter di beberapa wilayah Jawa Barat. Program ini rencananya akan berfokus pada daerah-daerah yang dianggap rawan terlebih dahulu.
“Tidak harus langsung di 27 kabupaten/kota. Kita mulai dari daerah yang siap dan dianggap rawan terlebih dahulu, lalu bertahap,” kata Dedi dalam keterangan resmi yang diterima pada 26 April 2025.
Program yang direncanakan berlangsung selama enam bulan ini akan memanfaatkan sekitar 30 hingga 40 barak yang disiapkan oleh TNI. Sasaran utamanya adalah siswa yang sulit dibina dan terindikasi terlibat dalam pergaulan bebas maupun tindakan kriminal.
Dedi menjelaskan bahwa pemilihan peserta program akan dilakukan berdasarkan kesepakatan antara sekolah dan orang tua, dengan fokus pada siswa yang membutuhkan pembinaan khusus. Melalui program ini, Dedi berharap dapat mengubah perilaku siswa menjadi lebih disiplin dan bertanggung jawab.
Selain program pendidikan berkarakter, Dedi Mulyadi juga telah mengumumkan rencana penerapan kurikulum wajib militer di sekolah-sekolah setingkat SMA/SMK mulai tahun ajaran baru mendatang.
“Saya serius, mulai tahun ajaran baru, Pemda Provinsi Jabar akan memasukkan kurikulum wajib militer di sekolah-sekolah,” ujar Dedi dalam keterangan resmi pada 5 Maret 2025.
Dalam implementasinya, setiap sekolah akan dilengkapi dengan pembina yang berasal dari anggota TNI dan Polri. Kehadiran personel militer dan kepolisian ini diharapkan dapat membentuk karakter bela negara, menggali potensi siswa, serta mencegah berbagai bentuk kenakalan remaja seperti tawuran dan perkelahian antar pelajar.
Namun, berdasarkan pandangan para ahli seperti Fahmi, efektivitas pendekatan semacam ini perlu dikaji lebih lanjut, mengingat kompleksitas permasalahan psikososial yang dihadapi oleh remaja di masa kini memerlukan solusi yang lebih komprehensif dan humanis.
Tinggalkan Balasan Batalkan balasan