GEMADIKA.com – Kejahatan siber terus menjadi ancaman serius dalam keamanan digital. Chief Technology Officer of Mandiant Google Cloud Asia-Pacific, Steve Ledzian menekankan pentingnya pencegahan untuk menghindari menjadi korban cyber crime. Ia mengungkapkan bahwa setiap individu harus fokus pada keamanan dasar dan menerapkan tata kelola yang tepat.
Ledzian menyatakan bahwa pendekatan berlapis dalam keamanan adalah hal penting. Selain itu, institusi atau perorangan perlu melakukan pengecekan terhadap potensi kebocoran data, serta memiliki tim yang bertugas mengawasi kinerja teknologi keamanan.
“Pastikan Anda memiliki tata kelola dan proses keamanan yang tepat. Lakukan pembersihan siber secara rutin, itu dapat membantu melawan ancaman yang tidak selalu bisa diatasi oleh teknologi,” ujar Ledzian saat presentasi di Kantor Google, Singapura, pada Rabu (23/10/2024).
Kejahatan siber tidak hanya menargetkan institusi besar, tetapi juga individu, dengan tujuan memeras uang atau memasang malware seperti ransomware untuk menyandera data korban. Penjahat siber kini memanfaatkan teknologi canggih seperti artificial intelligence (AI) untuk mendukung aksinya.
Salah satu modus operandi yang sedang marak adalah penyerang memanfaatkan AI untuk mengirim pesan atau panggilan palsu, seolah-olah penyerang mengetahui data korban, lalu mengancam dengan berbagai cara. Dalam beberapa kasus peretasan, pelaku bahkan berhasil mencuri puluhan juta dolar melalui serangan ransomware.
“Mereka sangat termotivasi untuk terus meningkatkan kecanggihan mereka demi mendapatkan imbalan besar,” tambah Ledzian.
AI dan Rekayasa Sosial Makin Dikhawatirkan Principal Threat Intelligence Analyst Google Cloud Asia-Pacific, Yihao Lim, menjelaskan bahwa penggunaan AI dalam serangan siber berkembang sangat pesat. AI digunakan untuk merekayasa sosial, termasuk memanipulasi video dari foto seseorang sehingga terlihat seolah-olah orang tersebut memberikan pernyataan yang benar.
Dengan tampilan wajah yang terlihat nyata, korban atau target seringkali tertipu dan menganggap pesan tersebut sah. “Rekayasa sosial pada dasarnya memanfaatkan kerentanan psikologis seseorang untuk mengelabui mereka agar melakukan tindakan yang tidak sah atau memberikan informasi sensitif,” jelas Yihao.
Ia juga menyoroti bahwa kasus penipuan dengan cara ini sudah lama terjadi, seperti modus panggilan palsu atau pesan ‘mama minta pulsa’ yang sempat marak di Indonesia beberapa tahun lalu. Modus tersebut kembali menjadi tren dengan bantuan teknologi AI, sehingga korban lebih mudah masuk ke dalam perangkap penyerang siber.
“Pada dasarnya, tujuannya adalah menipu korban agar AI memberikan informasi atau melakukan tindakan yang tidak sah,” kata Yihao Lim. (MonD)