GEMADIKA.com – Mantan peneliti OpenAI dan whistleblower terkemuka, Suchir Balaji, ditemukan meninggal dunia di apartemennya pada Selasa (26/12/2024).

Pemuda berusia 26 tahun itu dilaporkan tewas bunuh diri, berdasarkan penyelidikan awal oleh Kantor Kepala Pemeriksa Medis San Francisco. Tidak ada indikasi tindak kriminal yang ditemukan di lokasi kejadian.

Balaji menjadi perhatian publik setelah mengungkapkan tuduhan serius terhadap OpenAI, perusahaan tempat ia bekerja selama empat tahun. Dalam sebuah wawancara dengan New York Times pada Oktober lalu, ia menyatakan bahwa OpenAI menggunakan data berhak cipta secara ilegal untuk melatih model populernya, ChatGPT.

“merusak integritas internet,” tegas Balaji dalam wawancara tersebut.

Pihak Kepolisian San Francisco menerima laporan pada sore hari 26 November untuk memeriksa kesejahteraan penghuni di sebuah apartemen di Buchanan Street. Saat tiba di lokasi, mereka menemukan Balaji sudah tak bernyawa. Direktur Eksekutif Kantor Kepala Pemeriksa Medis, David Serranso Sewell, memastikan bahwa penyebab kematian adalah bunuh diri.

“Cara kematian bisa dipastikan sebagai bunuh diri,” ujar Sewell kepada CNBC.

Suchir Balaji adalah lulusan University of California, Berkeley, dengan gelar di bidang Ilmu Komputer pada 2021. Selama masa kuliahnya, ia menonjol di berbagai kompetisi pemrograman, termasuk menduduki posisi ke-31 dalam ACM ICPC 2018 World Finals. Setelah lulus, ia bekerja di Quora sebagai insinyur perangkat lunak sebelum bergabung dengan OpenAI pada 2020.

Di OpenAI, Balaji berperan penting dalam pengembangan model AI, termasuk ChatGPT dan GPT-4. Namun, ia mulai merasa tidak nyaman dengan praktik perusahaan yang diduga menggunakan data berhak cipta secara ilegal. Pada Agustus 2024, ia memutuskan hengkang karena ketidaksepahaman etis dengan perusahaan.

Baca juga :  Pemerintah Rencanakan Libur Sekolah Selama Ramadhan, PBNU Pertanyakan Kegiatan Siswa Non Muslim

“Jika Anda percaya apa yang saya yakini, Anda harus meninggalkan perusahaan itu,” ujarnya kepada New York Times.

Setelah keluar dari OpenAI, Balaji secara aktif mengkritik praktik perusahaan melalui media sosial dan wawancara. Ia menyatakan bahwa teknologi generatif seperti ChatGPT dapat merusak ekosistem internet dengan cara memanfaatkan hasil kerja keras orang lain tanpa izin.

“Ini bukan model berkelanjutan untuk ekosistem internet secara keseluruhan,” jelasnya dalam blog pribadinya.

Kabar kematian Balaji mengejutkan banyak pihak. OpenAI dalam pernyataan resminya menyampaikan duka cita mendalam.

“Kami sangat terpukul dengan berita menyedihkan ini dan hati kami bersama keluarga Suchir selama masa sulit ini,” ujar juru bicara OpenAI.

Namun, kematian Balaji juga memicu spekulasi di media sosial. Beberapa pengguna menyebutkan kemungkinan adanya keterkaitan antara kematian tragisnya dan gugatan hukum yang diajukan terhadap OpenAI oleh berbagai penerbit berita besar. Balaji sendiri disebut dalam salah satu dokumen hukum terkait dugaan pelanggaran hak cipta oleh OpenAI sehari sebelum kematiannya.

Meski tidak ada bukti konkrit yang mengarah pada kejanggalan, teori konspirasi terus berkembang. Pengguna media sosial mempertanyakan apakah kematian whistleblower ini murni bunuh diri atau terkait dengan tekanan yang dihadapinya sebagai pengungkap rahasia.

Baca juga :  VIRAL! Bocah Bermain Skuter di Tengah Jalan Raya Jakarta Timur, Plt Walkot: Orang Tua Harus Lebih Waspada

Tuduhan yang dilontarkan Balaji sejalan dengan gugatan hukum yang diajukan sejumlah penerbit besar, termasuk New York Times. Para penggugat menuduh OpenAI menggunakan artikel berita dan materi berhak cipta lainnya tanpa izin untuk melatih model AI.

OpenAI sendiri membantah tuduhan tersebut. “Perangkat lunak kami dirancang berdasarkan prinsip penggunaan wajar yang mendukung inovasi sekaligus adil bagi pencipta konten,” kata perwakilan OpenAI. Namun, Balaji dalam pernyataan terakhirnya menegaskan bahwa praktik ini tetap melanggar hukum jika tidak dilindungi dengan jelas oleh kerangka legal.

Balaji dikenal sebagai sosok cerdas dan berdedikasi tinggi terhadap etika teknologi. Ia tumbuh besar di Cupertino, California, dan sejak remaja menunjukkan minat mendalam pada kecerdasan buatan. Dalam wawancara terakhirnya, ia menyebut bahwa AI memiliki potensi besar untuk memecahkan masalah manusia, tetapi harus dikembangkan secara bertanggung jawab.

“Saya pikir AI bisa memecahkan masalah yang tidak dapat dipecahkan, seperti menyembuhkan penyakit dan menghentikan penuaan,” katanya.

Kematian Balaji meninggalkan tanda tanya besar, tetapi juga menyoroti pentingnya diskusi tentang etika dalam pengembangan teknologi. Sebagai whistleblower, ia membuka mata publik terhadap tantangan hukum dan moral di balik kemajuan AI. Banyak pihak berharap kasus ini dapat menjadi momentum untuk meninjau ulang regulasi terkait penggunaan data oleh perusahaan teknologi besar.