GEMADIKA.com – Tidak ada konsepsi kelembagaan yang benar-benar clear untuk mendatangkan keadilan secara menyeluruh. Terbukti banyak dari masyarakat suatu negara yang berkeluh kesah tentang penerapan keadilan dinegara mereka sendiri. Terlepas negara tersebut menganut ideologi negara komunis, sosialis dan agamis, toh nyatanya hingga detik ini tidak satu pun negara yang benar-benar mampu menegakkan rasa keadilan sepenuhnya dirasakan oleh rakyatnya. Sekalipun trias politica menjadi konsep politik yang melakukan pemisahan kekuasaan dengan tujuannya agar mencegah kekuasaan negara tidak bersifat absolut ditangan penguasanya, Namun hal itu belum mampu mendatangkan kenyamanan bagi segenap warga negaranya dimana pun berada.
Dilansir melalui edisi Rule of Law Index tahun 2023, dimana dari 142 negara yang disurvey, terdapat 10 Negara yang paling taat Hukum di Dunia, sebagaimana dilansir Kompas.com tertanggal 6 November 2023 lalu. Negara-negara itu antara lain, Denmark diurutan pertama, Norwegia diurutan kedua, selanjutnya Finlandia ketiga, Swedia ke empat, Jerman kelima, Luksemburg keenam, Belanda ketujuh, Selandia Baru kedelapan, Estonia ke sembilan, dan Irlandia di urutan ke sepuluh. Sedangkan bila pembaca mencermati informasi yang ditayangkan oleh Fakultas Hukum UMSU.ac.id Universitas Muhamadiyah Sumatera Utara pada 6 September 2023 dimana terdapat delapan negara yang dikenal memiliki sistem penerapan hukum paling ketat di dunia.
Oleh karenanya, urutan dalam penerapan hukum di suatu negara akan tampak berbeda dengan posisi ketaatan masyarakat dalam mematuhi hukum sebagaimana tulisan diatas. Dalam penerapan hukum, pembaca akan melihat perbedaan urutan dalam posisi penerapan hukum sebagaimana berikut, pada posisi pertama ditempati oleh Singapura, diurutan kedua Arab Saudi, diurutan ke tiga China, urutan keempat Korea Utara, urutan ke lima Iran, ke enam Rusia, urutan ke tujuh Malaysia, ke delapan Mesir. Sehingga, fakta ini membuktikan bahwa belum terdapat korelasi yang searah antara penerapan hukum dengan kepatuhan masyarakat terhadap hukum itu sendiri. Apalagi penilaian ini diukur bagi keberlangsungan penerapan serta ketaatan masyarakat terhadap hukum di Indonesia.
Gaduhnya pemberitaan mengenai status kepolisian yang akan dikembalikan dibawah struktur komponen TNI sebagaimana pengkondisian di era orde baru ketika itu, tentu menjadi pengamatan tersendiri di tengah carut marutnya wajah hukum di Indonesia. Walau pemberitaan yang dilansir dari tayangan KOMPAS.com tertanggal 1 Desember 2024 menyebutkan jika Markas Besar (Mabes) TNI menyatakan bahwa TNI menghormati setiap wacana yang berkembang, termasuk hal yang terkait pada perubahan struktur lembaga negara, yakni Polri dikembalikan kepada TNI atau Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Namun, TNI menyerahkan wacana perubahan struktur lembaga negara itu kepada pihak yang berwenang yakni pemerintah dan DPR.
Teori trias politica dari Montesquieu tidak menjelaskan tentang dimana kedudukan lembaga negara yang lain, tetapi melihat tugas dari ketiga cabang kekuasaan di atas maka, Kepolisian Republik Indonesia masuk dalam ranah lembaga yudikatif dalam menegakkan hukum. Hal itu sesuai jurnal yang disampaikan oleh Unismuhpalu.ac.id. Tentu saja jurnal ini tidak sekedar ungkapan yang dilontarkan begitu saja. Sebab, tujuan hukum kepolisian RI dalam UU Nomor 2 Tahun 2002 menyebutkan bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat demi tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, serta terbinanya ketenteraman masyarakat dan seterusnya.
Maka dalam konteks ini sangat jelas jika sifat kepolisian tersebut sesungguhnya lebih kepada sifat Yudikatif yang melekat kepada mereka. Sehingga Kepolisian bukan justru menjadi alat pencarian alat bukti yang dibutuhkan untuk melengkapi proses penuntutan dari berkas acara yang akan dipersidangkan, sebagaimana yang berlaku saat ini. Bahwa dalam fungsi dan tugasnya, mereka seharusnya dilepaskan dari ranah eksekutif agar lembaga ini benar-benar masuk kedalam ranah yudikatif sebagaimana yang telah dipisahkan dalam tiga bidang pembagian kekuasaan dari penerapan sistem Trias politica yang semestinya. Meskipun lembaga Kejaksaan sebagai instrumen yang melakukan proses penuntutan hukum tetap dalam ranah eksekutif oleh karena posisi tugas dan fungsi mereka yang sesuai pada tupoksinya untuk dikendalikan oleh pemerintah sekarang ini.
Demi terselenggaranya prinsip negara hukum, diperlukan peran profesi advokat dalam sistem Peradilan Pidana di indonesia yang mengatur tugas dan fungsi advokat sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kekuasaan kehakiman. Namun jika partai politik merupakan infrastruktur politik guna memasuki ranah supra struktur politik pemerintah hingga menjangkau Legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Maka tidak demikian halnya dengan bidang hukum yang banyak di isi oleh praktisi dan profesi hukum yang semestinya masuk kedalam ranah yudikatif, seperti Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, dan Komisi Yudisial hingga menjauhkan tangan-tangan politisi untuk menduduki berbagai jabatan yudikatif dari mereka yang berlatar atar belakang hukum itu sendiri.
Munculnya kecurigaan masyarakat terhadap PASCOK alias sebutan Partai Coklat yang ditudingkan kepada kalangan ASN dan Kepolisian saat ini, hingga hingar bingar publik guna mendudukkan mereka agar dibawah struktur TNI kembali, tentu hal ini bisa dianggap sebagai pemikiran yang gegabah dan irasional. Jika kejaksaan dalam tugas dan fungsinya melaksanakan proses penuntutan, tentu mereka pulalah yang harus melengkapi berbagai alat bukti dan kelengkapan berbagai pemberkasan guna terselenggaranya persidangan peradilan. Sehingga, kepolisian bukanlah sebagai pihak atau petugas yang justru terbebani guna melengkapi pemberkasan dari berbagai kebutuhan alat bukti, saksi-saksi, serta keterangan-keterangan guna melengkapi persyaratan P-21 yang sering dimintakan oleh Kejaksaan selama ini.
Penulis: Andi Salim
Tanggal Penulisan: 8 Desember 2024