BANDUNG, GEMADIKA.comĀ – Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, mengambil langkah tegas dengan memangkas anggaran hibah untuk pesantren tahun 2025 dari Rp153 miliar menjadi hanya Rp9,25 miliar.

Keputusan kontroversial ini diambil setelah ditemukan sejumlah penyimpangan serius dalam penyaluran dana, termasuk adanya yayasan fiktif yang dibuat khusus untuk menyerap dana pemerintah provinsi.

“Ada yang bikin yayasan palsu di Jawa Barat hanya untuk nyerap duit pemerintah provinsi,” ungkap Dedi Mulyadi dalam pertemuan bersama Kepala Kemenag dan Kadisdik se-Jawa Barat, Jumat (25/4/2025).

Gubernur mengungkapkan ketimpangan besar dalam distribusi dana selama ini, di mana bantuan cenderung diberikan kepada lembaga yang sama dan tidak merata.

Beberapa yayasan bahkan menerima dana hibah hingga puluhan miliar rupiah, sementara banyak lembaga pendidikan keagamaan yang benar-benar membutuhkan justru tidak mendapatkan bantuan sama sekali.

“Coba ada yayasan yang terimanya Rp2 miliar, Rp5 miliar. Ada yang Rp25 miliar, ada yang satu lembaga terimanya sudah mencapai angka Rp50 miliar. Menurut Anda adil enggak,” kata Dedi, mempertanyakan keadilan sistem yang selama ini berjalan.

Baca juga :  "Negeri Ini Hancur Bukan Karena Bangsa Asing, Tapi Karena Pengkhianatan dari Dalam Negeri Sendiri"

Dalam kebijakan baru, pemerintah provinsi hanya mengalokasikan dana hibah untuk dua lembaga: LPTQ Jabar dengan nilai Rp9 miliar dan Yayasan Mathlaul Anwar Ciaruteun Udik Bogor senilai Rp250 juta. Alokasi ini jauh berkurang dibandingkan anggaran sebelumnya sebagai bagian dari upaya pembenahan manajemen tata kelola.

“Agar hibah ini tidak jatuh pada pesantren yang itu-itu juga. Yang kedua, tidak jatuh hanya pada lembaga atau yayasan yang memiliki akses politik saja, artinya punya akses terhadap DPRD, punya akses terhadap gubernur,” tegas Dedi.

Dedi juga menyoroti fenomena di mana penerima dana hibah mendirikan yayasan-yayasan baru tanpa verifikasi yang jelas, hanya untuk kembali mendapatkan bantuan dari pemerintah.

“Yayasan yang berkembang yang punya akses politik, yang punya akses kepada gubernur, itu-itu saja yang dapat. Sementara yang benar-benar butuh, yang di bawah, tidak kebagian,” ujarnya.

Sebagai gantinya, Pemprov Jabar akan mengalihkan fokus pada pembangunan Madrasah hingga Tsanawiyah yang selama ini dianggap kurang mendapat perhatian dari pemerintah. Pendekatan baru ini akan berbasis data konkret dari Kementerian Agama, bukan berdasarkan pertimbangan politik.

Baca juga :  Tamparan Realitas: Trump Melunak Terpaksa Longgarkan Tarif Saat Industri Otomotif Terancam

“Karena selama ini bantuan yang disalurkan kepada yayasan-yayasan pendidikan di bawah Kemenag itu selalu pertimbangan politik,” jelasnya.

“Makanya saya sudah rapat dengan Kemenag seluruh Jawa Barat, ke depan kita akan mengarahkan (bantuan) pada distribusi rasa keadilan,” sambung Dedi.

Langkah ini mendapat sorotan serius mengingat keberadaan pesantren telah diatur dalam Peraturan Daerah (Perda) Nomor 1 Tahun 2021. Meski terdapat desakan untuk memperhatikan keberadaan pesantren, Gubernur Dedi tetap yakin bahwa pembenahan sistem yang dia lakukan akan membawa dampak positif jangka panjang.

“Ini adalah bagian audit kita untuk segera dilakukan pembenahan. Jadi tujuannya untuk apa, karena ini untuk yayasan-yayasan pendidikan agama, maka prosesnya pun harus beragama,” tandasnya.

Pemprov Jawa Barat kini berkomitmen untuk membangun madrasah yang benar-benar dibutuhkan, dengan siswa yang jelas, dan memerlukan dukungan infrastruktur berdasarkan data valid, bukan atas dasar kedekatan politik.