JAKARTA, GEMADIKA.com – Amerika Serikat mengkritik tajam terhadap kebijakan sistem pembayaran nasional Indonesia, khususnya Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) dan Gerbang Pembayaran Nasional (GPN).

Namun di tengah tekanan internasional ini, pakar ekonomi justru melihatnya sebagai momentum untuk memperteguh kedaulatan finansial digital Indonesia.

Proteksi Kedaulatan atau Hambatan Dagang?

Amerika Serikat, melalui laporan tahunan 2025 National Trade Estimate (NTE) yang dirilis oleh Kantor Perwakilan Dagang AS (USTR), mengkritik arah kebijakan sistem pembayaran Indonesia yang dinilai semakin protektif dan tertutup terhadap pelaku usaha global.

“Perusahaan-perusahaan asal AS khawatir karena tidak diberi informasi lebih awal mengenai perubahan kebijakan QR code, dan tidak dilibatkan dalam proses penyusunan sistem tersebut, termasuk dalam hal bagaimana sistem itu seharusnya bisa diintegrasikan dengan sistem pembayaran global yang sudah ada,” tulis USTR dalam laporannya, dikutip Senin (21/4).

Direktur Eksekutif Segara Research Institute, Piter Abdullah Redjalam, menanggapi kritik tersebut dengan pandangan berbeda. Menurutnya, kritik AS lebih disebabkan oleh kebijakan pembatasan keterlibatan asing dalam sistem pembayaran domestik.

“Kritik AS bukan karena ingin bergabung dengan sistem QRIS, tetapi karena pembatasan kepemilikan asing dan hak suara di lembaga switching nasional. Ini menyangkut dominasi mereka selama ini melalui Visa dan Mastercard,” jelas Piter dalam program “Investor Market Today” yang diakses melalui YouTube Beritasatu, Kamis (24/4/2025).

Baca juga :  Pejabat DLH Tangsel Jadi Tersangka Korupsi Proyek Pengelolaan Sampah Rp 75,9 Miliar

Pembatasan Kepemilikan Asing yang Dipersoalkan

QRIS diberlakukan melalui Peraturan BI Nomor 21 Tahun 2019 yang mewajibkan seluruh transaksi menggunakan QR code di Indonesia mengikuti standar nasional. Sistem ini bertujuan menyatukan berbagai layanan pembayaran QR agar lebih efisien dan seragam secara nasional.

Namun USTR mengklaim kebijakan ini menyulitkan pelaku usaha asing karena tidak dirancang agar kompatibel dengan sistem pembayaran internasional. Kritik juga ditujukan pada kebijakan pembatasan kepemilikan asing yang dinilai semakin ketat:

  • Perusahaan pelaporan kredit swasta: maksimal 49% kepemilikan asing
  • Perusahaan jasa pembayaran non-bank (front-end): hingga 85% kepemilikan asing, tetapi hak suara dibatasi hanya 49%
  • Perusahaan infrastruktur sistem pembayaran (back-end): hanya 20% kepemilikan asing diperbolehkan

Kebijakan GPN juga tak luput dari sorotan USTR. Bank Indonesia mewajibkan seluruh transaksi kartu debit dan kredit ritel domestik diproses melalui GPN dengan syarat lembaga switching harus berbasis di Indonesia dan memiliki lisensi dari BI.

Memperkokoh Kedaulatan Digital di Tengah Tekanan

Piter Abdullah Redjalam memperingatkan agar Indonesia tidak goyah menghadapi tekanan internasional. Ia mendorong penguatan sistem pembayaran nasional yang sudah dibangun.

Baca juga :  Stres dan Amarah Bisa Picu Tekanan Darah Naik, Tapi Apakah Sebabkan Hipertensi?

“Jangan karena kritik dari AS, lalu kita goyah. Justru ini saatnya memperkuat sistem kita. Kita sudah selangkah lebih maju dari banyak negara dalam membangun sistem pembayaran nasional yang inklusif dan berdaulat,” ujarnya.

Piter menekankan bahwa meski Amerika Serikat merupakan mitra dagang penting, Indonesia tidak sepenuhnya bergantung pada Negeri Paman Sam. Hubungan perdagangan Indonesia juga kuat dengan China, ASEAN, hingga Timur Tengah, yang membuka peluang untuk memperluas pasar ekspor dan memperkuat daya saing nasional.

“Negosiasi tetap perlu dilakukan, tetapi prinsip kemandirian dan kedaulatan tidak boleh dinegosiasikan,” tegasnya.

Posisi Tegas dalam Negosiasi Internasional

Dalam menghadapi tekanan internasional, Piter menyarankan tim negosiator Indonesia harus berbekal data kuat, pemahaman mendalam, dan keberanian mempertahankan prinsip kedaulatan.

“Kita bukan negara kecil yang bisa dibully begitu saja. Kalau tidak ada titik temu, maka kita harus siap bertahan demi harga diri bangsa,” tegasnya terkait kritik AS terhadap sistem QRIS dan GPN.

Sementara itu, pemerintah AS tetap berharap pemerintah Indonesia dan Bank Indonesia lebih terbuka terhadap masukan dari pelaku industri internasional untuk menciptakan sistem pembayaran yang lebih terintegrasi dan kompetitif secara global. (Mond)